Budgeting POM, 2. Cost Control (Pengendalian Biaya )
Bagaimana agar fungsi Budgeting (Anggaran) itu bisa mendekati actual. Antara Perencanaan anggaran dan realisasinya. Sebenarnya fungsi anggaran ini lebih mengarah ke managerial dan managerial itu sendiri adalah sebuah seni. Bisa dibilang seni memanage anggaran. Jadi fungsi Manager adalah mengelola orang-orang yang bekerja sebagai teamnya agar bisa mencapai sasaran dengan anggaran (budget) yang sudah dibuat. Jadi budget itulah yang nantinya jadi guideline, dalam perjalanan perusahaan hari ini (To date) , bulan ini (Month to date), tahun ini ( year to date ).
Lalu bagaimana secara prakteknya agar control budget itu bisa benar benar dilaksanakan.
Tentu yang pertama adalah pembuatan budget itu harus mendetail dalam forecasting atau taksiran bahan bakunya yaitu buah sawit berapa ton per bulan dan pertahun.
Yang kedua yaitu asumsi asumsinya harus mendekati kondisi yang benar di tahun yang di budgetkan (fluktuasi dan kondisi ekonomi). Jadi harga barang inflasi, dan deflasi bisa di taksir dari tahun sebelumnya
Yang ketiga adalah barang yang dibutuhkan itu benar benar barang yang akan dikeluarkan. Artinya memang barang tersebut di perlukan di stasiun tersebut dan bakal dikeluarkan. Ini bisa kita tarik datanya dari 1 tahun barang yang dikeluarkan dari masing masing stasiun di tahun sebelum pembudgetan.
Bila ketiga hal ini sudah sesuai maka tinggal kita awasi di saat realisasi. Lalu bagaimana caranya ?
Saat realisasi tentu tidak selalu sesuai dengan saat di budgetkan. Akan tetapi control harus tetap dilakukan agar penyimpangan (variance) anggaran tidak terlalu besar. Dan effesiensi bisa dilakukan karena bila semua lini bisa bekerja effective dan effesien maka tentu target target perusahaan dapat dicapai.
Pertama yang perlu dilakukan adalah memposting semua pengeluaran dengan benar, dan memastikan barang yang dibudgetkan yang dikeluarkan perbulannya. Mungkin ada pertanyaan kadang yang dikeluarkan barang yang tidak di budgetkan, dan yang di budgetkan malah tidak dikeluarkan tapi secara total biaya masih mendekati, kan bisa saja terjadi.
Hal pertama ini biasa terjadi dilapangan karena kita yang membudgetkan juga bukan peramal yang bisa memastikan barang contoh bearing 6205, atau mecanical seal akan dikeluarkan dibulan Januari di stasiun Clarifikasi misalnya. Tentu tidak juga. Tapi bila kita sering melihat lagi ke detail budget maka kita bisa melihat mungkin ada barang yang bisa kita order untuk dapat kita keluarkan di bulan yang kita budgetkan.
Kedua adalah melihat variance plus maupun minus, dan mengapa terjadi over dan under. Tentu over itu terjadi karena apa dan under karena apa. Contoh terjadi over karena memang secara jumlah sama tapi secara harga naik, oh ya over karena banyak kerusakan sehingga banyak barang keluar gudang. Jadi apabila kita bisa mentracking dengan baik dan benar maka pengambilan keputusan akan dibagaimanakannya alat di stasiun tersebut nantinya.
Ketiga adalah memastikan phasing material material maintenance yang besar besar dapat terealisasi dengan benar. Contoh pembelian material press dan pompa di bulan Maret, maka setidaknya phasingnya jangan jauh meleset.
Yang keempat adalah benchmarking. Apa itu benchmarking. Kalau menurut penulis sih benchmarking yaitu rasionalisasi cost. Jadi komponen cost yaitu fix cost dan variable cost. Kita pastikan bahwa fix cost kan sudah pasti barang keluar di tiap bulannya artinya bila angka contoh fix cost 45 Rp/ kg maka selisih realisasi juga diharapkan tidak jauh. Sedangkan untuk variable Cost nilai tergantung banyak buah. Nah ini yang perlu kita pastikan, karena ini mengikuti rumus persamaan.
Contoh :
Variable cost
Budget buah 30000 ton perbulan material yang keluar di stasiun clari adalah 50 JT. Maka berapa bila secara actualnya cuma olah 15000 ton?.
Tentu 15000/30000 x 50 JT = 25 JT.
Untuk fix cost
Budget buah 30000 ton perbulan gaji karyawan proses bengkel dll adalah anggap 350 JT. Lalu berapa bila actual olah cuma 15000 ? Tentu tetap 350 JT yang harus dikeluarkan. Namanya juga fix cost artinya olah tidak olah wajib dikeluarkan. Nah nilai ini yang menjadi beban perusahaan bila suatu pabrik tidak mencapai Mill utilitynya atau performance terbaiknya. Karena tetap membayarkan gaji karyawannya dan lain lain.
Akan tetapi jangan juga budget dijadikan alasan kalau pabrik rusak. Karena terkadang terjadi kesalahpahaman asumsi seperti ini.
Mengapa pabrik rusak ? Karena ngak ada barang pak.
Loh kok ngak ada barang ? Karena ngak ada budgetnya, atau budget sudah habis 😀😀😀 tentu itu merupaka keselahan kita sendiri.
Tetap yang di utamakan adalah bagaimana pabrik bisa mencapai top performance nya. Jadi bila sudah bisa mencapai top performance nya baru kita mainkan ke effesiensiannya. Karena bagaimanapun budget itu guidelines
Maksudnya, contoh
Pabrik 60 tph ( ton per hour), tapi tiap hari dapat cuma berkisar 50 tph. Terus berasumsi karena barang barang yang mau untuk perbaikan tidak ada karena budget tidak ada. Tentu ini salah, harus dikesampingkan dahulu. Yang pertama dikejar adalah pabrik 60 tph harus dapat 60 tph juga.
Selanjutnya bila sudah dapat 60 tph dengan biaya contoh 120 Rp/kg. Maka tinggal kita effesienkan bisa tidak dapat 60 tph dengan biaya 110 Rp/ kg.
Tentu kita harus berpikir seperti itu.
Komentar
Posting Komentar